-->

Kisah Cinta Banowati




CINTA TRAPESIUM ALA BANOWATI


Lelaki itu bernama Aswatama. Ia anak Pandita Drona. Ia punya rindu-dendam terhadap perempuan. Mengapa? Inilah kisahnya.

Syahdan, Prabu Salya raja Mandaraka mempunyai tiga orang putri. Semuanya rupawan. Ialah Erawati, Surthikanti dan Banowati. Yang paling cantik sekaligus binal namanya Banowati. Disamping cantik dan binal ia molek. Banyak lelaki melambungkan khayalan padanya. Hukum dunia telah digariskan, wanita cantik berjodoh dengan lelaki rupawan. Yang binal dapat yang jalang. Banowati juga tahu hukum dunia itu. Karenanya ia berani jatuh hati pada Arjuna, sang penengah Pandawa, lelananging jagad – pejantan dunia, lelaki paling jalang diantara yang jalang. Gayung bersambut. Playboy dunia wayang itu tidak menampik Banowati. Maka terjadilah percintaan yang membirahi.

Di tempat lain Prabu Drupada raja Panchala terluka hatinya karena ulah Pandita Drona. Drupada lantas melakukan ritual Putrakama Yadnya, ritual memohon anak, dengan tujuan anak tersebut kelak sebagai sarana untuk membunuh Drona. Lahirlah dua orang, yang lelaki diberi nama Drestajumna, yang perempuan Dropadi. Malang nian anak-anak ini, mereka dimohonkan lahir kedunia dengan ungkapan dendam.
“Wahai Drestajumna pergilah ke penjuru bumi. Timbalah ilmu dari guru-guru sakti karena kelak takdir menuntutmu untuk membunuh Drona, guru yang sombong dan tidak adil itu.”

Drestajumna menuruti ayahandanya. Ia harus kukuh sebagai mesin pembunuh. Berat rasanya menjadi calon pembunuh secara sadar sejak awal. Kenapa pula harus Drona. Guru para Pandawa sekaligus Kurawa. Tetapi ia harus patuh pada ayahnya. Ia pergi. Mempersiapkan pembunuhan yang menentukan itu.
Sebagai ayah, Drona begitu sayang pada Aswatama. Seisi dunia akan ditampiknya jika harus diganti dengan Aswatama, kebanggaannya. Drona bersumpah akan rela menyusul mati jika Aswatama mati. Sumpah itu – seperti biasa – dicatat oleh dewa, dan, seperti biasa akan dibocorkan kelak pada saatnya.

Drona memang seorang guru yang mumpuni. Tetapi ia tidak adil. Kepada Aswatama ia memberi pelajaran lebih, melebihi apa yang ia berikan kepada Pandawa dan Kurawa. Lambat namun pasti Aswatama telah menjelma menjadi paling tangkas dan sakti. Tetapi Aswatama tahu diri, ia bukan kasta ksatria, ia lebih baik tidak menonjolkan diri. Biarlah para ksatria dunia yang menonjol, ia cukup dibelakang layar saja. Toh ia bisa mengambil peran lain.

Sesungguhnya Aswatama tak luput dari pesona Banowati. Ia tergila-gila. Tetapi ia selalu diajari untuk tampil dibelakang layar. Mental seperti inilah yang menjadikan Aswatama tidak berani menyatakan cinta pada Banowati. Aswatama tahu diri, ia bukan ksatria. Aswatama menanggung pilu saat Banowati semakin dekat dengan Arjuna. Aswatama dendam, tetapi tidak berdaya. Nyatalah sudah bahwa di jaman kuno, kasta adalah segalanya.

Malam telah gelap memekat bersenggama dengan bau wangi dupa yang menaburi dingin. Suasana yang sempurna bagi insan yang menyimpan rahasia. Tetapi tidak bagi mata Aswatama. Ia bisa memahami dan memastikan, di sudut sana, pujaan hatinya tengah berdua dengan Arjuna. Saat-saat yang selalu dilanjutkan dengan percumbuan dan persetubuhan. Asawatama terluka, tetapi tidak berdaya. Oh Banowati, mengapa kau begitu hina. Tetapi…tetapi…aku cinta.

Pertentangan Pandawa dan Kurawa semakin hebat. Kedua kubu semakin aktif membangun aliansi. Pada pertemuan di Balairung Hastina, Sangkuni memberi petuah pada Doryudana.

“Wahai raja Astina memang sudah menjadi kehendak dewata jika perang bakal meletus. Perang tentu akan dimenangkan oleh pihak yang lebih kuat dan lebih banyak mendapat dukungan dari negara sahabat. 

Hendaknya sang prabu membangun persekutuan dengan cara apapun. Ada satu kerajaan yang harus segera paduka dekati karena disamping mereka kuat juga telah condong hatinya kepada Pandawa, ialah negeri Mandaraka yang dipimpin Prabu Salya.”

“Bagaimana mungkin kita bisa merebut hati Prabu Salya, sedangkan mereka bertetangga dengan Pandawa sejak jaman kuno, wahai patihku. Bukankah Salya itu juga ipar Pandu, ayah Pandawa.
Sangkuni terkekeh. Dari mulutnya yang bau kemenyan meluncurlah saran yang jitu.

“Paduka jangan berkecil hati. Prabu Salya punya tiga orang putri. Pinanglah salah satunya. Perkawinan paduka akan menyatukan dua kerajaan.” Doryudana terkesima.

Tetapi memang Balairung itu terlalu terbuka. Banyak kuping yang mendengar. Dalam tempo tidak seberapa lama setelah pertemuan itu muncul kabar, Erawati diculik oleh Baladewa untuk diperistri, sedangkan Surthikanti dilarikan Karna untuk maksud yang sama. Salya yang sombong keberatan jika Erawati diperistri oleh Baladewa, keberatan mana baru mencair setelah Salya tahu bahwa Baladewa juga raja di Mandura.
Sedangkan Surthikanti diikhlaskan menjadi milik Karna sebagai jaminan kesetiaan agar bersedia membela Kurawa saat bharatayuda. Tinggal satu yang tersisa : Banowati. Tetapi Doryudana ragu, bukankah ia telah berpacaran dengan Arjuna, musuh besarnya. Tetapi ini politik. Keraguan harus disimpan dilaci kusam.
Pinangan segera dilakukan. Salya akhirnya menerima pinangan itu karena Doryudana memberikan seserahan harta yang berlimpah. Tetapi Banowati menolak dengan cara sangat halus. Banowati menetapkan syarat yang pastinya akan ditolak oleh Doryudana. Apakah itu?

“Rama Prabu, saya akan menerima pinangan Doryudana tetapi dengan satu syarat yaitu kelak menjelang perkawinan, saya minta dalam ritual siraman dimandikan diruang tertutup.” Mendengar penuturan putrinya Salya tersenyum. Itu hal yang mudah.

“Yang memandikan adalah Arjuna.” Salya terdiam.

Itu mustahil.

Mendengar syarat itu Doryudana begitu terpukul. Harga dirinya tersinggung dahsyat. Bagaimana mungkin calon pengantinnya mandi siraman dengan Arjuna. Tetapi Patih Sangkuni segera menengahi.

“Paduka, sebaiknya syarat itu diterima saja. Kemenangan di Kurusetra jauh lebih penting dari pada persyaratan yang remeh-temeh itu. Ingatlah bahwa Paduka adalah seorang raja yang bertugas melindungi seluruh Hastina. Para Nabi dan bijak bestari pun sejak dahulu hingga kedepan senantiasa melangsungkan perkawinan politik, demi negara, ingat itu sang Prabu.”

“Tetapi bukan dengan cara seperti ini paman patih.”

“Coba Sang Prabu pikir kembali, Mandaraka punya seratus ribu prajurit. Jumlah sebanyak itu akan jatuh ketangan Pandawa manakala Banowati diperistri Arjuna. Sang Prabu harus bertindak cepat, jangan sampai Banowati terlepas seperti halnya Erawati dan Surthikanti. Toh nanti sang Prabu bisa mengambil istri lagi.” Kalimat terakhir ini diucapkan Sangkuni dengan mata berkedip-kedip.

Doryudana yang lemah itu akhirnya menuruti kata Sangkuni. Godaan kekuasaan menutupi kehormatan. Pernikahan tanpa cinta dari kedua belah pihak akhirnya dilangsungkan juga. Sejak itu, Aswatama semakin tenggelam dalam perasaannya sendiri yang tidak jelas. Sebagai pelampiasan Aswatama giat berlatih olah keprajuritan. Ia merasa akan mengambil peran menentukan dalam bharatayuda. Ia semakin tak tertandingi.
Banowati walau telah menjadi istri Doryudana tetap membuka hati, baju dan kutangnya untuk Arjuna. Ini dilakukan tidak sekali, tetapi berkali-kali, saat Doryudana bertugas menghimpun koalisi atau berburu di hutan. Dan Aswatamalah yang paling tahu tentang rahasial itu. Rasa cintanya belumlah pupus, karenanya ia selalu mengamati sang dewi, termasuk kala Arjuna menyelinap ke taman sari. Aswatama tahu, cemburu, dendam, tetapi tidak mampu. Wahai dewata, apa yang harus aku perbuat dengan kenyataan ini. Aswatama pernah melaporkan ihwal perselingkuhan itu kepada sidang kerajaan, tetapi dimentahkan oleh Salya, dikatakan bahwa Aswatama hanya cemburu dan berhalusinasi.

Sampailah saat yang mengguncang marcapada. Banowati melahirkan bayi laki-laki. Kebetulan saat itu Doryudana dan keluarga Kurawa sedang di luar kerajaan sehingga tidak melihat langsung rupa bayi yang baru dilahirkan, ia begitu mirip dengan Arjuna. Dengan cepat Banowati mengirim pesan ke Arjuna, bahwa aib dan hukuman akan menimpanya karena rupa bayi itu. Lelananging jagad itu berdoa agar diberi perlindungan. Alhasil bayi itu berubah wajah menjadi figur yang sedemikian berbeda. Bayi itu diberi nama Lesmana Mandrakumara. Sekali lagi – dalam pewayangan – saya menyaksikan dewa-dewa tanpa malu senantiasa menutupi aib para jagoannya.

Karena doa Arjuna pula bayi itu tumbuh menjadi pemuda yang idiot. Kelak dalam perang bharatayuda Lesmana Mandrakumara mati dibunuh oleh Abimanyu – putra Arjuna dengan Sumbadra.
Akhirnya Bharatayuda memasuki hari keempat belas. Kurawa menampilkan senopati tangguh, Drona. Kubu Pandawa mengalami kerusakan hebat. Siapa yang bisa menandingi kesaktian Drona? Hanya Kresna – titisan wisnu – yang sanggup membendung Drona. Tetapi Kresna sudah berjanji tidak akan turun langsung dalam kancah peperangan. Kresna diam, seperti biasa ia memohon agar dibuka rahasia langit.

“Kabarkan pada Drona bahwa Aswatama telah mati. Berbohonglah karena ini siasat perang.”

“Aswatama mati! Aswatama mati!.” Kurusetra gempar, Drona terguncang. Drona melolong bagai anjing mencium arwah.

“Wahai manusia benarkah Aswatama anakku sudah mati?” Teriakan itu begitu nyaring. “Dimanakah dikau wahai Aswatama putra terkasihku?” Tidak ada jawaban. Berulang-ulang tetap tidak ada jawaban. Akhirnya Drona terpaksa menemui Pandawa, pribadi-pribadi yang dikenalnya jujur. Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa semua mengatakan Aswatama telah mati sesuai pesan Kresna. Drona melolong perih. Ia lebih baik mati saja menyusul Aswatama sesuai sumpahnya. Tetapi Drona tidak lantas percaya sebelum menyaksikan sendiri jasad putranya.

“Dimana Yudistira? Aku harus menanyakan padanya karena ia paling jujur di muka bumi.”

Yudistira sengaja bersembunyi menghindari pertanyaan Drona. Walau ini strategi perang ia tetap tidak mau berbohong. Apapun yang terjadi ia harus jujur. Itu sudah darmanya. Kresna memahami, cepat atau lambat Drona akan menemukan Yudistira dan akan terbongkarlah rahasia itu, bahwa Aswatama memang belum mati. Ditemuinya Yudistira.

“Wahai putra Pandu, katakan pada Drona bahwa Aswatama telah mati.”

“Tidak kakang, bagaimana dunia menilaiku kelak jika aku harus berbohong.”

Kresna memahami bahwa Yudistira bukan pribadi yang bisa ditawar. Dengan perhitungan yang luar biasa Kresna membawa seekor gajah yang langsung dibawa kehadapan Yudistira.

“Ketahuilah gajah ini aku beri nama Aswatama.”

Lalu gajah itu dibunuhnya.

“Lihatlah Gajah Aswatama telah mati. Jika kau ditanya Drona, ceritakan bahwa Gajah Aswatama telah mati. Namun pada saat dinda mengucapkan kata “Gajah” hendaknya dipelankan sehingga kuping tua Drona hanya mendengar Aswatama telah mati.”

Sejurus kemudian Drona datang.

“Wahai Yudistira, benarkah Aswatama telah mati?”

“Benar, (Gajah) Aswatama telah mati.” Pengucapan gajah begitu pelan sehingga Drona yakin bahwa Yudistira, sang manusia jujur, telah menjadi saksi kematian Aswatama.

Drona menjerit. Ia tidak lagi menghiraukan statusnya sebagai senopati, ia berlari sambil berteriak seperti orang gila. Kresna menyimpulkan inilah saat yang tepat untuk membunuh Drona. Saat kewaspadaan telah menguap dari raganya. Saat Aswatama sejati belum muncul di medan perang. Tetapi siapa yang sanggup membunuhnya? Drona tetap berbahaya. Tidak ada yang berani menyongsong tubuh yang terus melolong itu dari arah depan.

“Panggil Drestajumna”, titah Kresna pasti.

Dilangit tinggi puluhan gagak melayang kesana-kemari. Suaranya yang buruk membuat gigil pendengarnya. Drestajumna, mesin pembunuh itu, telah menunggu peran dan takdirnya. Sebagai mesin pembunuh ia merasa tidak terikat darma dan hukum perang. Tanpa perasaan Drona yang tengah kalang kabut ditebasnya dari belakang. Perlahan tubuh itu tumbang. Semua terdiam. Kurusetra terkesima. Babak baru akan terjadi.
Dengan cepat senja sore mengundurkan diri berganti malam layu yang sendu. Yudistira menunduk pilu. Di langit tinggi para dewa pura-pura tidak tahu.
Kehilangan benteng terbaiknya Kurawa akhirnya kalah.

**********

Cinta berbirahi memang tidak mengenal malu. Begitu perang usai, Banowati – permaisuri Doryudana – menyeberang ke kubu Pandawa dan diperistri oleh Arjuna. Aswatama yang luput dari maut karena bukan termasuk figur yang diincar menyimpan dendam kesumat pada Pandawa yang telah membunuh ayahnya secara licik. Ia merencanakan balas dendam dengan cara membunuh bayi Parikesit, cucu Arjuna. Dengan terbunuhnya Parikesit dipastikan klan Bharata akan punah dan menjadikan kemenangan Pandawa tidak berarti lagi.

Bersama Kartamarma, sahabatnya, ia menggali lubang di tanah, meniru landak, menembus benteng Pandawa. Saat Aswatama muncul ditengah Benteng alangkah terkejutnya ia tatkala matanya bersirobok dengan tubuh cantik yang dikenalnya, Banowati. Karena hendak menjerit disongsongnya tubuh Banowati dengan keris. Wanita pujaannya itu meregang nyawa dalam pelukannya. Aswatama menyadari betul ia masih mencintai wanita itu. Ia peluk erat tubuh yang nyaris kehilangan denyut itu. Ini pelukan yang pertama sekaligus terakhir. Pelukan kematian, pelukan yang susah untuk ditafsirkan. “Banowati, mengapa harus seperti ini?”

Terjadi kegaduhan didalam benteng, rupanya Kartamarma telah ketahuan pihak musuh. Aswatama segera berkelebat cepat. Dalam sedih dan guncang ia tetaplah anak Drona.

Akhirnya Aswatama menemukan kamar Parikesit. Tanpa pikir panjang ia serbu bayi itu dengan hujaman keris. Kurang beberapa langkah, bayi yang terkejut itu menyepak senjata pasopati yang dipersiapkan di kakinya, meluncur deras menghantam dada Aswatama. Dalam regangan nyawa Aswatama berucap lirih, “tunggu aku Banowati.”

-Margono Dwi Susilo-

LihatTutupKomentar