Beberapa bulan setelah Sinta dan Rama hidup berbahagia kembali bertahta dan memerintah di Ayodya, tiba-tiba malapetaka yang tak diduga menimpa negeri Ayodya.
Pada suatu hari dikala sedang “gayeng-gayeng” nya para Menteri dan Pemimpin negara Ayodya bersidang, sekonyong-konyong terdengarlah jerit dan tangis seorang wanita. Suara tangis itu ternyata berasal dari seorang wanita yang sedang bertengkar berebut benar dengan suaminya. Mereka berdua adalah Ki Angga dan Nyi Angga, sehingga Nyi Angga ingin meminta keadilan kepada Sri Rama.
Semula pengawal kerajaan tidak mengijinkan dan akan mengusir mereka dari Istana, namun Sri Rama memerintahkan mereka dibawa masuk ke dalam istana. Setelah Nyi Angga sampai di hadapan Sri Rama, maka bertanyalah Sang Prabu:
“Apa maksudmu, sampai engkau menangis menjerit-jerit ingin bertemu dengan aku. Suara tangismu terlalu keras sehingga mengganggu jalannya persidangan.”
“Mohon ampun Yang Mulia Sri Baginda. Hamba datang untuk memohon keadilan paduka.” sembah Nyi Angga.
“Hamba dicurigai dan diperlakukan sewenang-wenang oleh suami hamba.”
“Mengapa dicurigai?” potong Sri Rama
“Hamba hanyalah pergi meninggalkan rumah untuk sekedar menengok orang tua hamba yang sedang sakit. Karena hati hamba sangat rindu dan tenaga hamba sangat diperlukan terpaksa bermalam di rumah orang tua hamba. Karena sangat jauhnya, maka hamba tak sempat memberitahu suami hamba. Apapun alasan hamba, namun suami hamba tidak dapat menerimanya. Ia mengungmpat dan menuduh hamba bertindak serong, menyeleweng dan tidak suci lagi.
Bahkan ia berkata bahwa “Ki Angga bukanlah Sri Rama, yang begitu saja dapat menerima permaisurinya (Sinta) yang sudah bertahun-tahun bedara di sekap dalam sangkar Mas-nya Rahwana.” Pekerti seorang laki-laki sejati tidak demikian. Laki-laki sejati melihat isterinya meninggalkan rumah tanpa ijin semalam saja, ia sudah patut dijatuhi “talak tiga”. Demikianlah pengaduan Nyi Angga.
“Hai Ki Angga, benarkah kata isterimu itu?” tanya Sri Rama.
“Benar Paduka.” jawab ki Angga singkat. “Mohon ampun Yang Mulia, bahwasanya seluruh rakyat Ayodya telah menyangsikan akan kesucian Gusti Sinta.”
“Bukankah Gustimu Sinta telah dibuktikan kesuciannya dengan hukum bakar?” Bantah Sri Rama.
“Benar Yang Mulia. Tetapi tak ada satupun rakyat Ayodya yang menyaksikannya. Gusti Laksmana adalah adik Paduka, sedang kera tak dapat dipercaya. Belum ada sejarah manusia mempercayai pendapat kera.”
Mendengar jawaban Ki Angga yang berani dan kurang ajar tersebut, merah padamlah wajah Sri Rama laksana disambar halilintar di siang hari bolong. “Kumejot, kumintir” bercampur gelisah hati Sri Rama laksana diterkam harimau “luput”. Para hulubalang hampir kehilangan kesabarannya, apalagi para pengawal kerajaan, rasanya sudah ingin menyeret dan “merajang-rajang” badan Ki Angga. Sedang seluruh anggota sidang tak ada satupun yang berani berkata. Sunyi senyap, semua menundukkan kepalanya, karena memang dalam hatinya mereka juga membenarkan ucapan Ki Angga.
Sri Rama yang waskita itu tak percaya akan istilah “kebetulan” maka ia berani mengambil kesimpulan, bahwa apa yang dikatakan oleh Ki Angga itu betul. (Dunia ini tak ada yang kebetulan, semuanya telah diatur oleh Tuhan). Oleh karena itu dengan lemas Sri Rama meninggalkan persidangan masuk ke dalam istana. Para menteri menjadi gugup, ribut dan berdesas-desus, “klesak-klesik”, namun tak ada yang berani berbicara keras.
“Ooh , Dewa…!! Untuk apa semuanya ini harus terjadi. Ya Tuhan berilah kami petunjuk” begitulah Sri Rama merangkul Laksmana sambil meneteskan air matanya. “Sungguh tak kuduga sama sekali, bahwasanya malapetaka telah menimpa diriku. Selama ini ternyata aku telah menjadi cacian dan bahan tertawaan manusia di Ayodya. Betul-betul aku telah memberikan contoh yang salah kepada rakyatku di Ayodya.”
“Duh kakanda, janganlah percaya akan kata-kata orang yang hina-papa itu.” Demikianlah Laksmana mencoba menghibur hati kakaknya.
“Tidak mungkin adinda” jawab Sri Rama “Aku sangat percaya apa yang telah dikatakan oleh Ki dan Nyi Angga itu. Oleh karena itu kini aku putuskan, buanglah ‘mbak-yu’ mu Sinta permaisuriku ke hutan, dan taruhlah ia ditepi sungai Gangga. Biarlah alam yang memberikan keputusan dan keadilan.”
“Duh kakanda, tak mungkin itu kulaksanakan”. sahut Laksmana.
“Ooh, Laksmana adikku, jangan membantah. Inilah satu-satunya jalan yang paling tepat, yang bisa diterima dan dimengerti oleh rakyatku laksanakan perintahku, kangan bantah perintahku. Aku tahu kau sulit melaksanakan perintahku. Tetapi kerjakan jangan bantah, kerjakan !” perintah Rama dengan pasti.
Pendek kata remuk redamlah hati Laksmana, Sinta dibuang dan didiamkan di tepi sungai Gangga begitu saja.
lagi-lagi “DILEMMA”, konflik moral. Sekali lagi, manusia dihadapkan dengan suatu pilihan dan harus memilih. Tidak memilihpun sudah berarti memilih. Mengusir Sinta atau membiarkan dicurigai rakyat. Sekali lagi harus memilih. Apapun jadinya pilihan itu akan selalu tidak mantap dan sempurna, karena : “Maju tatu, mundur ajur, seperti makan buah simala kama.”
Demikianlah menurut Prabu Dyah Balitung raja Mataram Kuno “Ramayana Kakawin” yang tidulis pada tahun 907 Masehi.
IR SRI MULYONO
Pada suatu hari dikala sedang “gayeng-gayeng” nya para Menteri dan Pemimpin negara Ayodya bersidang, sekonyong-konyong terdengarlah jerit dan tangis seorang wanita. Suara tangis itu ternyata berasal dari seorang wanita yang sedang bertengkar berebut benar dengan suaminya. Mereka berdua adalah Ki Angga dan Nyi Angga, sehingga Nyi Angga ingin meminta keadilan kepada Sri Rama.
Semula pengawal kerajaan tidak mengijinkan dan akan mengusir mereka dari Istana, namun Sri Rama memerintahkan mereka dibawa masuk ke dalam istana. Setelah Nyi Angga sampai di hadapan Sri Rama, maka bertanyalah Sang Prabu:
“Apa maksudmu, sampai engkau menangis menjerit-jerit ingin bertemu dengan aku. Suara tangismu terlalu keras sehingga mengganggu jalannya persidangan.”
“Mohon ampun Yang Mulia Sri Baginda. Hamba datang untuk memohon keadilan paduka.” sembah Nyi Angga.
“Hamba dicurigai dan diperlakukan sewenang-wenang oleh suami hamba.”
“Mengapa dicurigai?” potong Sri Rama
“Hamba hanyalah pergi meninggalkan rumah untuk sekedar menengok orang tua hamba yang sedang sakit. Karena hati hamba sangat rindu dan tenaga hamba sangat diperlukan terpaksa bermalam di rumah orang tua hamba. Karena sangat jauhnya, maka hamba tak sempat memberitahu suami hamba. Apapun alasan hamba, namun suami hamba tidak dapat menerimanya. Ia mengungmpat dan menuduh hamba bertindak serong, menyeleweng dan tidak suci lagi.
Bahkan ia berkata bahwa “Ki Angga bukanlah Sri Rama, yang begitu saja dapat menerima permaisurinya (Sinta) yang sudah bertahun-tahun bedara di sekap dalam sangkar Mas-nya Rahwana.” Pekerti seorang laki-laki sejati tidak demikian. Laki-laki sejati melihat isterinya meninggalkan rumah tanpa ijin semalam saja, ia sudah patut dijatuhi “talak tiga”. Demikianlah pengaduan Nyi Angga.
“Hai Ki Angga, benarkah kata isterimu itu?” tanya Sri Rama.
“Benar Paduka.” jawab ki Angga singkat. “Mohon ampun Yang Mulia, bahwasanya seluruh rakyat Ayodya telah menyangsikan akan kesucian Gusti Sinta.”
“Bukankah Gustimu Sinta telah dibuktikan kesuciannya dengan hukum bakar?” Bantah Sri Rama.
“Benar Yang Mulia. Tetapi tak ada satupun rakyat Ayodya yang menyaksikannya. Gusti Laksmana adalah adik Paduka, sedang kera tak dapat dipercaya. Belum ada sejarah manusia mempercayai pendapat kera.”
Mendengar jawaban Ki Angga yang berani dan kurang ajar tersebut, merah padamlah wajah Sri Rama laksana disambar halilintar di siang hari bolong. “Kumejot, kumintir” bercampur gelisah hati Sri Rama laksana diterkam harimau “luput”. Para hulubalang hampir kehilangan kesabarannya, apalagi para pengawal kerajaan, rasanya sudah ingin menyeret dan “merajang-rajang” badan Ki Angga. Sedang seluruh anggota sidang tak ada satupun yang berani berkata. Sunyi senyap, semua menundukkan kepalanya, karena memang dalam hatinya mereka juga membenarkan ucapan Ki Angga.
Sri Rama yang waskita itu tak percaya akan istilah “kebetulan” maka ia berani mengambil kesimpulan, bahwa apa yang dikatakan oleh Ki Angga itu betul. (Dunia ini tak ada yang kebetulan, semuanya telah diatur oleh Tuhan). Oleh karena itu dengan lemas Sri Rama meninggalkan persidangan masuk ke dalam istana. Para menteri menjadi gugup, ribut dan berdesas-desus, “klesak-klesik”, namun tak ada yang berani berbicara keras.
“Ooh , Dewa…!! Untuk apa semuanya ini harus terjadi. Ya Tuhan berilah kami petunjuk” begitulah Sri Rama merangkul Laksmana sambil meneteskan air matanya. “Sungguh tak kuduga sama sekali, bahwasanya malapetaka telah menimpa diriku. Selama ini ternyata aku telah menjadi cacian dan bahan tertawaan manusia di Ayodya. Betul-betul aku telah memberikan contoh yang salah kepada rakyatku di Ayodya.”
“Duh kakanda, janganlah percaya akan kata-kata orang yang hina-papa itu.” Demikianlah Laksmana mencoba menghibur hati kakaknya.
“Tidak mungkin adinda” jawab Sri Rama “Aku sangat percaya apa yang telah dikatakan oleh Ki dan Nyi Angga itu. Oleh karena itu kini aku putuskan, buanglah ‘mbak-yu’ mu Sinta permaisuriku ke hutan, dan taruhlah ia ditepi sungai Gangga. Biarlah alam yang memberikan keputusan dan keadilan.”
“Duh kakanda, tak mungkin itu kulaksanakan”. sahut Laksmana.
“Ooh, Laksmana adikku, jangan membantah. Inilah satu-satunya jalan yang paling tepat, yang bisa diterima dan dimengerti oleh rakyatku laksanakan perintahku, kangan bantah perintahku. Aku tahu kau sulit melaksanakan perintahku. Tetapi kerjakan jangan bantah, kerjakan !” perintah Rama dengan pasti.
Pendek kata remuk redamlah hati Laksmana, Sinta dibuang dan didiamkan di tepi sungai Gangga begitu saja.
lagi-lagi “DILEMMA”, konflik moral. Sekali lagi, manusia dihadapkan dengan suatu pilihan dan harus memilih. Tidak memilihpun sudah berarti memilih. Mengusir Sinta atau membiarkan dicurigai rakyat. Sekali lagi harus memilih. Apapun jadinya pilihan itu akan selalu tidak mantap dan sempurna, karena : “Maju tatu, mundur ajur, seperti makan buah simala kama.”
Demikianlah menurut Prabu Dyah Balitung raja Mataram Kuno “Ramayana Kakawin” yang tidulis pada tahun 907 Masehi.
IR SRI MULYONO
Untuk membaca kisah lengkap Ramayana silakan Klik Disini.